Halaman

Selasa, 22 April 2014

Kisah di balik karya lukisan "The Praying Hands"

Filipi 2:3-4  dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. 

“The Praying Hands” atau “Tangan Berdoa” adalah nama dari sebuah lukisan karya Albrecht Durer (1471 – 1528). Karya yang memperlihatkan sepasang tangan yang tertangkup mengarah ke atas itu sering juga dijadikan karya seni yang berupa pahatan kayu ataupun batu. Rupanya, karya yang sangat terkenal itu mempunyai latar belakang sebuah kisah legenda yang berasal dari negara Jerman. Nah, para domba cilik, marilah kita simak kisahnya;

Pada abad ke 15 Masehi, di dekat kota Nuremberg terdapatlah sebuah desa kecil, di desa itu hiduplah satu keluarga yang memiliki anak yg berjumlah 18, Ya, delapan belas orang! Sang ayah adalah seorang pedagang emas yang sehari-harinya bekerja hampir delapan belas jam demi menghidupi keluarganya.

Meskipun keluarga itu bukan keluarga yang kaya, namun dua anak sulungnya, yakni Albrecht Durer dan adiknya Albert Durer, mempunyai cita-cita tinggi. Mereka bercita-cita bahwa suatu saat kelak mereka akan menjadi para seniman terkenal.

Karena mereka sadar bahwa sang ayah tidak akan mampu membiayai kuliah mereka maka Albrecht Durer dan adiknya Albert Durer mencari cara untuk mewujudkan cita-cita mereka itu.

Setelah diskusi yg panjang maka akhirnya kakak beradik itu membuat kesepakatan. Mereka akan mengundi, dan yang menang akan bersekolah lebih dulu ke akademi agar bisa menjadi seorang seniman, sedangkan yang kalah akan tetap tinggal dan bekerja di pertambangan, supaya uangnya dapat digunakan untuk biaya kuliah. Demikianlah mereka akan bergantian. Dan ternyata Albrecht Durer menang sehingga adiknya, Albert Durer, yang akan bekerja untuk membiayainya berkuliah di akademi.

Ternyata, Albrecht adalah seorang yang sangat berbakat dan menjadi bintang di akademi Nuremberg. Karya-karyanya bahkan jauh lebih baik daripada karya para profesornya. Sehingga Albrecht Durer berhasil lulus dengan hasil yang gemilang, dan ia mendapat cukup banyak uang atas karya-karyanya.

Kemudian, ketika Albrecht Durer kembali ke desanya, keluarganya sangat bangga, lalu mengadakan pesta makan malam di halaman rumah untuk merayakan keberhasilannya.Menjelang akhir acara pesta itu Albrecht menghampiri adiknya yang tercinta untuk minum bersulang dengannya. Sebelum bersulang Albrecht berkata, " Albert, adikku, aku sangat berterima kasih atas jerih lelahmu selama ini demi kesuksesanku. Dan sekarang, giliranmulah untuk pergi ke akademi di Nuremberg, dan saya akan membiayai semua yang kau perlukan."
Semua orang mengarahkan perhatian ke Albert Durer, sang adik, yang duduk di ujung meja. Air mata mengalir di wajah Albert yang pucat, dan sambil menggelengkan kepalanya sementara ia menangis. Lalu disekanya air mata di pipinya, dan dia memegang tangannya, sambil berkata pelan, "Tidak, saudaraku, saya tak akan pergi ke Nuremberg. Bagi saya hal itu sudah terlambat. Lihatlah ... lihat apa yang terjadi pada tanganku setelah empat tahun bekerja di tambang. Tulang-tulang jari saya pernah hancur setidaknya sekali!. Dan akhir-akhir ini saya juga terkena rheumatoid yang parah di tangan kanan saya, sehingga untuk memegang gelas ini dan bersulang denganmu pun aku tak bisa. Aku tidak bisa lagi memegang kuas dan melukis garis-garis halus di kanvas. Bagi saya itu sudah terlambat."

Seketika itu suasana berubah menjadi haru, Albrecht Durer sangat sedih melihat kenyataan itu. Dan suatu hari, sebagai ungkapan rasa terima kasih dan hormatnya kepada sang adik atas semua yang telah dikorbankannya maka Albrecht Durer mencoba menghela Albert Durer, meluruskan jari-jarinya dan kemudian melukisnya. Setelah selesai, diberinya judul lukisan itu "Hands," yang lambat laun dunia mengenal karya itu sebagai suatu karya persembahan cinta yang tulus, tangan yang berkorban dan memohon. Itu lah sebabnya karya itu lebih terkenal dengan judul "The Praying Hands." Tangan yang berdoa, berkorban demi mewujudkan sebuah cita-cita saudaranya, dan tanpa pamrih.

(sumber : http://sumber-hidupituanugerah.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar